Saya adalah jemaat dari salah
satu aliran gereja Lutheran yang cukup sering mengunjungi gereja dengan aliran
lainnya, dan satu hal yang paling saya perhatikan adalah cara jemaat bernyanyi.
Saya tidak sedang membeda-bedakan aliran gereja satu dengan lainnya. Gereja
dengan aliran Lutheran atau Calvinis memiliki lagu pujian dan penyembahan yang
saya namakan dengan bahasa saya sebagai “lagu-lagu pengagungan Tuhan”,
kata-kata dan notasi dalam lagu penuh penghormatan dan kekaguman kepada Tuhan,
tapi jemaat cenderung bernyanyi ditempat tanpa ekspresi bahkan suara yang kesannya
“malu-malu”. Sedangkan gereja dengan aliran kharismatik atau pentakosta
memiliki lagu-lagu yang kata-katanya apa adanya dan jemaat bernyanyi dengan
semua yang mereka miliki, mereka melompat, bertepuk tangan, bahkan tak jarang
meneteskan air mata.
Saya tidak tertarik untuk
membicarakan mengenai lagu dan notasi karena itu bukan bidang
saya...hehe...tapi saya tertarik untuk membicarakan tentang sikap bernyanyi
untuk Tuhan. Saya senang memperhatikan bagaimana jemaat bernyanyi digereja
saya, setengah berbisik tanpa ekspresi, seringkali musik mengalahkan suara
jemaat. Dan keadaan ini seringkali mempengaruhi saya untuk memperbesar volume
suara saya, saya gregetan dengan cara jemaat bernyanyi...”hello....ini kita
lagi nyanyi buat Tuhan loh...Tuhan yang kasih kita nafas dan yang bikin kita
selamat sampe gereja ini...come on...gini cara lu smua nyanyi, lemes amat...”.
Bagaimana bisa kita tidak berekspresi dengan sukacita penuh waktu kita
mengatakan “KuBERBAHAGIA...yakin teguhhhh...Yesus abadi KEPUNYAANKU...” dan bagaimana
hati kita tidak bergetar bahkan meneteskan air mata saat bernyanyi “Meski tak
layak diriku, tetapi karena darahMu, dan kerena Kau memanggilku, kudatang Tuhan
padaMu...”. Sikap bernyanyi untuk Tuhan haruslah penuh penghormatan dan
kekaguman; lompatan, tepuk tangan bahkan air mata bukanlah perasaan, emosi
sesaat, atau terbawa alunan musik, tapi ekspresi hormat dan kagum akan
kebesaran dan anugrah keselamatan yang telah diberikan Tuhan untuk kita.
Sebagai penutup, saya
membayangkan masa kecil saya sewaktu menyambut ayah saya pulang dari kantor,
saya akan berlari keluar rumah menyambutnya sambil bergelayutan, menciumi ayah
saya dan menari bersamanya, saya tidak akan memperhatikan baju saya yang kotor
karena belum mandi, saya menjadi diri saya apa adanya, dan ayah saya sangat
menyukai dan merindukan saat-saat itu, karena tidak mungkin saya yang berusia hampir
26 tahun ini bersikap seperti itu...hehee.... Sikap menyambut Tuhan yang
seperti anak-anak itulah yang dirindukan Tuhan saat kita memuji dan menyembah
Tuhan, menyambutNya dengan antusias, jujur dan rasa rindu yang tidak pernah ada
habisnya. Saya membayangkan Tuhan tersenyum dan hatiNya amat sangat bersukacita
atas apa yang kita lakukan untukNya sewaktu memuji dan menyembahNya.
Hatiku siap, ya Allah, aku mau
menyanyi, aku mau bermazmur. Bangunlah, hai jiwaku,
Bangunlah, hai gambus dan kecapi,
aku mau membangunkan fajar.
Aku mau bersyukur kepadaMu
diantara bangsa-bangsa, ya Tuhan,
Dan aku mau bermazmur bagi-Mu
diantara suku-suku bangsa;
Sebab kasih-Mu besar mengatasi
langit,
Dan setia-Mu sampai ke awan-awan
_Mazmur Daud
No comments:
Post a Comment