Sunday, April 7, 2013

Bernyanyi untuk Tuhan



Saya adalah jemaat dari salah satu aliran gereja Lutheran yang cukup sering mengunjungi gereja dengan aliran lainnya, dan satu hal yang paling saya perhatikan adalah cara jemaat bernyanyi. Saya tidak sedang membeda-bedakan aliran gereja satu dengan lainnya. Gereja dengan aliran Lutheran atau Calvinis memiliki lagu pujian dan penyembahan yang saya namakan dengan bahasa saya sebagai “lagu-lagu pengagungan Tuhan”, kata-kata dan notasi dalam lagu penuh penghormatan dan kekaguman kepada Tuhan, tapi jemaat cenderung bernyanyi ditempat tanpa ekspresi bahkan suara yang kesannya “malu-malu”. Sedangkan gereja dengan aliran kharismatik atau pentakosta memiliki lagu-lagu yang kata-katanya apa adanya dan jemaat bernyanyi dengan semua yang mereka miliki, mereka melompat, bertepuk tangan, bahkan tak jarang meneteskan air mata.

Saya tidak tertarik untuk membicarakan mengenai lagu dan notasi karena itu bukan bidang saya...hehe...tapi saya tertarik untuk membicarakan tentang sikap bernyanyi untuk Tuhan. Saya senang memperhatikan bagaimana jemaat bernyanyi digereja saya, setengah berbisik tanpa ekspresi, seringkali musik mengalahkan suara jemaat. Dan keadaan ini seringkali mempengaruhi saya untuk memperbesar volume suara saya, saya gregetan dengan cara jemaat bernyanyi...”hello....ini kita lagi nyanyi buat Tuhan loh...Tuhan yang kasih kita nafas dan yang bikin kita selamat sampe gereja ini...come on...gini cara lu smua nyanyi, lemes amat...”. Bagaimana bisa kita tidak berekspresi dengan sukacita penuh waktu kita mengatakan “KuBERBAHAGIA...yakin teguhhhh...Yesus abadi KEPUNYAANKU...” dan bagaimana hati kita tidak bergetar bahkan meneteskan air mata saat bernyanyi “Meski tak layak diriku, tetapi karena darahMu, dan kerena Kau memanggilku, kudatang Tuhan padaMu...”. Sikap bernyanyi untuk Tuhan haruslah penuh penghormatan dan kekaguman; lompatan, tepuk tangan bahkan air mata bukanlah perasaan, emosi sesaat, atau terbawa alunan musik, tapi ekspresi hormat dan kagum akan kebesaran dan anugrah keselamatan yang telah diberikan Tuhan untuk kita.

Sebagai penutup, saya membayangkan masa kecil saya sewaktu menyambut ayah saya pulang dari kantor, saya akan berlari keluar rumah menyambutnya sambil bergelayutan, menciumi ayah saya dan menari bersamanya, saya tidak akan memperhatikan baju saya yang kotor karena belum mandi, saya menjadi diri saya apa adanya, dan ayah saya sangat menyukai dan merindukan saat-saat itu, karena tidak mungkin saya yang berusia hampir 26 tahun ini bersikap seperti itu...hehee.... Sikap menyambut Tuhan yang seperti anak-anak itulah yang dirindukan Tuhan saat kita memuji dan menyembah Tuhan, menyambutNya dengan antusias, jujur dan rasa rindu yang tidak pernah ada habisnya. Saya membayangkan Tuhan tersenyum dan hatiNya amat sangat bersukacita atas apa yang kita lakukan untukNya sewaktu memuji dan menyembahNya.

Hatiku siap, ya Allah, aku mau menyanyi, aku mau bermazmur. Bangunlah, hai jiwaku,
Bangunlah, hai gambus dan kecapi, aku mau membangunkan fajar.
Aku mau bersyukur kepadaMu diantara bangsa-bangsa, ya Tuhan,
Dan aku mau bermazmur bagi-Mu diantara suku-suku bangsa;
Sebab kasih-Mu besar mengatasi langit,
Dan setia-Mu sampai ke awan-awan
_Mazmur Daud

No comments:

Post a Comment